Pages

Subscribe:

Rabu, 04 Januari 2012

SYIRKAH (KERJASAMA)

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Menurut bahasa, syirkah berarti campuran, sedangkan menurut syara’ syirkah berarti hak atas satu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama. Dasar syirkah ini adalah sabda Nabi Muhamammad saw:
َيقُوْلُ اللهُ تَعاَلى : اَناَثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَاصَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنَهُمَا . رواه ابودودواحاكم
“Allah berfirman, “Aku (Allah) adalah yang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak saling berkhianat. Bila salah satunya berkhianat, maka Aku (Allah) keluar dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Maksud dari kalimat bahwa Allah keluar dari keduanya  adalah Allah mencabut berkah dari keduanya (orang yang melakukan kerja sama).[1]
B.  Macam-macam Syirkah
Syirkah ada dua macam:
1.    Syirkah badan
Syirkah badan yaitu persekutuan yang batal atau tidak sah, misalnya kerja sama d antara tukang kayu, tukang besi, tenaga angkut, dan semua jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga badan. Keputusan mengenai kerja sama tersebut tidak sah karena pengerjaannya yang bersama-sama dengan pembagian hasil yang sama pula tanpa tidak memperhatikan persamaan dan perbedaan cara kerja orang satu dengan yang lain dan tidak pula memperhatikan jenis pekerjaannya.
Selain itu yang menyebabkan persekutuan ini batal  adalah tidak semua orang yang terlibat di dalamnya  memiliki kondisi tubuh yang sama, sehingga pekerjaan yang dihasilkan pun berbeda. Apabila hasilnya dibagi rata atau pembagian hasilnya sama maka orang yang lebih kuat dan besar tenaganya akan rugi karena memperoleh hasil yang sama dengan orang yang tenaganya kurang. Sementara itu, jika hasilnya tidak sama maka akan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Menurut Imam Malik persekutuan tersebut boleh dan sah selama jenis pekerjaannya sama. Demikian pula menurut Imam Abu Hanifah, beliau membolehkannya baik jenis pekerjaannya sama atau tidak sama.
2.    Syirkah inan (persekutuan modal atau harta benda)
Disebut sebagai persekutuan harta benda karena ada dua orang yang bersekutu yang sama-sama berhak menghentikan kegiatan mereka dan keduanya mempunyai hak untuk mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan besar modal masing-masing.
Persekutuan semacam ini sah karena Nabi saw bersabda, bahwa Allah berfirman: “Aku adalah orang ketiga dari dua orang yang bersekutu.” Para imam juga sepakat bahwa jenis persekutuan semacam ini adalah boleh atau sah.

C.  Hukum Syirkah (kerja sama)
Kerjasama kepemilikan (syirkatul-milk)
a.       Hanafi
Pembagian kerjasama ke dalam kelompok kepemilikan perjanjian tidak terdapat dalam kitab fiqh Hanafi dan Maliki, tetapi di dalam karya Ahmad bin Muhammad al-Quduri, seorang hakim yang bermadzhab Hanafi yang berjudul al-mukhtasar (ringkasan) sedikit menjelaskan tentang fikih kerjasama dan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Terdapat dua kelompok kerjasama: kerjasama kepemilikan (proprietary partnership).
Kerjasama perjanjian bisa terjadi ketika dua orang salig mewarisi atau membeli sesuatu secara bersama-sama. Keduanya tidak dibolehkan mengelola bagian pihak lain, kecuali dengan seizinnya. Masing-masing menjadi orang asing sehubungan dengan besaran investasi dari kawannya.[2]

       Pandangan syirkah sebenarnya digunakan untuk menunjukkan keadaan-keadaan yang hanya meliputi kepemilikan gabungan atau bersama. Persoalan tersebut hanya mendapatkan perhatian secara kecil, namun persoalan tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi teori kerjasama Islam pada masa permulaan.
b.      Maliki
Kerjasama di sini hanya disinggung sedikit dalam kitab Muwatta’ karya Imam Malik. Itu pun dikaitkan dengan masalah pembayaran zakat, berbagai macam penjualan, dan pembebasan budak. Sedikit sekali diberikan penjelasan yang terperinci mengenai hal itu, tetapi pada sumber-sumber itu penggunaan istilah syarik (mitra) tampaknya meliputi kepemilikan bersama yang dilakukan di luar perdagangan.
Contoh berikut ini menggambarkan persoalan tersebut lebih jelas. Ada dua orang laki-laki adalah pemilik sebuah kapal. Satunya ingin mengangkut barang miliknya ke atas bagian kapal yang menjadi miliknya juga. Tetapi orang yang satu tidak membolehkannya karena barang yang boleh diangkut adalah barang dagangan saja. Sedangkan pihak yang pertama menyatakan pendapatnya bahwa dia berhak menaikkan barang miliknya sesuai dengan keinginannya. Pendapat Sahnun, pengikut Maliki dari Afrika Utara pengarang buku al-Mudawwanah. Dia memastikan bahwa setiap pemilik berhak mengangkut barang-barang miliknya ke atas kapal barang dan keduanya tidak bisa diharuskan dan dipaksa agar memberikan imbalan kepada kawannya atas muatannya.[3]
Shanun juga menjelaskan bahwa hubungan kepemilikan bersama atas kekayaan atau harta benda yang tidak bisa dibagi lagi, berbeda dengan ciri kerjasama perdagangan. Jenis kerjasama ini  mengikuti kerjasama          (syirkah) kepemilikan.
D.  Syarat-syarat syirkah harta benda
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan syirkah atau kerjasama dalam harta benda, diantaranya:
1.    Terkumpulnya dua modal barang yang sama jenisnya. Dua barang yang sama jenis bila dikumpulkan akan sulit dibedakan, misalnya gandum, beras, kedelai yang sama jenisnya yang bila dikumpulkan seolah-olah hanya ada satu barang yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Barang yang terkumpul dan harus sama jenisnya. Sifat barang itu pun harus sama, tidak diperbolehkan menggunakan barang yang dapat dibedakan. Apabila terjadi kerusakan pada barang tersebut, dan barang tersebut masih dapat dibedakan lagi oleh kedua pemilikinya mana kepunyaannya dan mana milik temannya, maka salah satu dari mereka akan mengambil barang yang bukan haknya.
2.    Kedua barang harus dikumpulkan menjadi satu, sehingga tidak dapat dipisahkan lagi. Bila barang tersebut bermacam-macam dan diperoleh secara bersama-sama dari harta warisan, maka harta tersebut cukup dibiarkan saja apa adanya. Barang tersebut berbeda-beda tetapi sulit untuk dipisahkan karena barang itu belum dibagi untuk mereka berdua.
3.    Untuk mengopersikan barang tersebut harus memperoleh izin dari keduanya. Perlu dipahami bahwa tindakan rekannya ini bagaikan seorang wakil, maka kemaslahatan dalam bersekutu harus dijaga, tidak boleh menjual dengan pembayaran kredit, menipu, dll. Tidak boleh juga meninggalkan barang tersebut kecuali mendapat izin dari teman-temannya.
4.    Keuntungan harus dibagi rata sesuai dengan modal masing-masing, baik pekerjaannya sama atau tidak sama.
Sebagaimana pembagian keuntungan yang tidak memenuhi modal mereka masing-masing, bila mengalami kerugian tidak boleh melebihi modal mereka masing-masing. Dalam syirkah pun boleh mengambil keuntungan lebih banyak sesuai dengan banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan, sebab tiap orang berbeda kondisi tubuhnya, ada yang kuat dan ada yang lemah.
Perlu diketahui bahwa dalam syirkah jika salah satu ada yang minta agar keuntungannya sama, namun jumlah modalnya berbeda, maka aqad syirkah ini batal atau tidak sah.



[1] Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktis (Bab: Muamalah), (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hal. 71
[2] Abraham L. Udovitch, Kerjasama Syari’ah dan Bagi Untung-Rugi dalam Sejarah Islam Abad Pertengahan (teori dan penerapannya), (Kediri: Qubah, 2008), hal. 23
[3] Ibid, hal. 28

0 komentar:

Posting Komentar