Pages

Subscribe:

Rabu, 04 Januari 2012

RESOLUSI KONFLIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Masyarakat dan konflik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersifat alamiah. Menurut Novri Susan, bahwa konflik itu normal dan tidak dapat dielakkan sepanjang ada interaksi dan kerjasama antar manusia . Konflik mempunyai berbagai bentuk misalnya konflik antar pribadi, antar kelompok, konflik antar organisasi dan lain sebagainya. Konflik pada dasarnya memiliki beberapa unsur yaitu ada dua pihak yang terlibat, ada tujuan yang dijadikan sasaran, ada tindakan dan ada situasi yang melahirkan sebuah pertentangan.
Konflik sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan mengganggu kestabilan. Tetapi pada dasarnya konflik mempunyai sisi lain yang berdaya positif yaitu sebagai sebuah proses menuju perubahan. Sehingga konflik harus diakui keberadaannya, diolah, dimanajemen dan diubah menjadi kekuatan untuk menuju perubahan yang baik.
Ada banyak pendekatan yang sering dilakukan untuk melakukan penyelesaian konflik, misalnya model penyelesaian berdasarkan sumber konflik, model boulding, model posisi kepentingan dan kebutuhan, model intervensi pihak ketiga dan banyak model yang lainnya . Dalam penyelesaian konflik biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan teori universal dan mengadopsi dari luar, sehingga berakibat pada tidak munculnya penyelesaian yang berkelanjutan, akhirnya konflik menjadi perulangan yang tidak memberikan perubahan positif bagi masyarakat.
Penyelesaian konflik seharusnya disesuaikan dengan konteks dan latar atau setting dimana konflik itu terjadi, dalam hal ini pendekatan yang universal sebenarnya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah konflik. Ada bentuk lain dari pendekatan penyelesaian konflik yang sering dilupakan yaitu kearifan lokal (local wisdom). Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia terdapat banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam penyelesaian konflik untuk menciptakan damai (peace). Misalnya ; Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yo Ingsun, Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun Sirih (Melayu/Sumatera) , dan Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu)
Sebagaimana uraian diatas mengenai pentingnya gagasan-gagasan lokal untuk digunakan dalam penyelesaian konflik, terutama di atas lokal yang akhir-akhir ini sering terjadi konflik. Berdasarkan asumsi dasar tersebut, menarik untuk dianalisis dalam makalah ini yaitu Bagaimana Menggagas Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal terhadap berbagai konflik Agama dan Budaya.
B.  Rumusan Masalah


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi konflik
Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian dari hidup manusia yang hidup bersama (makhluk social) dan berpolitik yang mempunyai latar belakang budaya yang beraneka ragam seperti halnya yang ada di Indonesia ini. Namun demikian, istilah konflik membersitkan makna negatif bagi individu maupun kelompok tertentunya sebagaimana Indonesia dari masa orba sampai masa era tekhnologi ini.
Ketika masa orba, konflik dimaknai secara sempit dan negatif. Konflik selalu dikaitkan dengan ketidakamanan dan ketidakharmonisan. Sesungguhnya kenyataan ini tidak terlepas dari tiga hal, yaitu trauma sejarah akibat penindasan masa orde lama, kedua dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural, ketiga adalah kepentingan pembangunanisme yang mensyaratkan stabilitas politik berlebihan.[1]
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia, karena konflik memiliki fungsi positif yaitu dengan adanay konflik manusia bisa belajar dan berkembang. Konflik menjadi dinamika sejarah manusia, konflik merupakan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Seperti yang dikutip Pruit & Rubin di Webster “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepantingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan”.[2] Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang, konflik antar-kelompok, konflik antara kelompok dengan Negara, konflik antarnegara. Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya. Sehingga butuh pengelompokan dalam setiap kajian atau pembahasan tersendiri.

B.  Kompilasi Konflik Etnis-Agama di Indonesia
Berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia banyak yang disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Dalam penyebaran agama yang dilaksanakan oleh para pemeluk agama menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik tersebut. Isu-isu lain yang menjadi sebab adalah masalah teologi (keyakinan), masalah yang menyangkut pada kenabian dan masalah dalam kitab suci. Dalam agama Islam khususnya jika ada orang atau kelompok yang dirasa oleh umat Islam itu menyimpang dari ketiga hal itu maka berbagai kerusuhan dan pergolakan banyak bermunculan.
Berbagai permasalahan etnis-Agama bermunculan di Indonesia, seperti insiden ketapang pada tahun 1998 terhadap gereja-gereja Kristen yang merupakan salah satu faktor pecahnya perang antara Kristen-Islam di Ambon dihasut oleh konflik antara orang Betawi dengan orang Ambon. Sejak tahun 1990 telah terjadi serangan terhadap gereja dengan peningkatan momentum, mencapai klimaksnya pada insiden yang mengerikan tahun 1996 dan 1997 di Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian timur Indonesia telah terjadi serangan terhadap masjid-masjid. Di Maluku dan Sulawesi tengah dan konflik etnis antara penduduk asli dayak melayu di satu pihak dan pendatang Madura di pihak lain.
Pada awal tahun 2007 di Yogyakarta di gegerkan oleh kasus kontroversi penyelenggaraan Jogja Festival yang berakar dari saling kecurigaan di antara kelompok-kelompok keagamaan menyangkut aktifitas penyebaran agama. Namun kesalingcurigaan ini tak cukup sering dibicarakan terbuka. Isu ini amat kompleks, karena terkait dengan banyak hal, termasuk konsep teologis dan etis mengenai dakwah (Islam) dan misi (Kristen).[3] Dan yang terbaru saat-saat ini adalah kasus Ahmadiyah yang di picu oleh masalah kenabian dan kitab suci, masalah NII yang disebabkan oleh ideologi yang berseberangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya, masalah peyerangan terhadap gereja yang terjadi di Temanggung, penyerangan terhadap pondok pesantren di jawa timur, bom bunuh diri, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang juka dijelaskan butuh pembahasan tersendiri dalam suatu forum diskusi maupun dialog.
Dari berbagai permasalahan yang penulis munculkan di atas, ada beberapa hal yang melatar belakangi konflik Etnis-Agama di Indonesia, yaitu (1) budaya kekerasan, (2) latar belakang yang kompleks, (3) sebuah sejarah yang sulit.
1.      Budaya kekerasan
Hal ini merupakan situasi yang mengerikan dan berbahaya, tidak saja bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik, akan tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus, konflik agama mengancam equilibrium masyarakat yang sensitif bagi seluruh Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami latar belakng konflik-konflik ini. Tentu saja setiap konflik memiliki latar belakang sejarah sosial, ekonomi, budaya, dan politik sendiri-sendiri.[4]
2.      Latar belakang yang kompleks
Bagaimana budaya kekerasan seperti diatas bisa berkembang? Setidak-tidaknya ada empat faktor yang signifikan dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama, modernisasi dan globalisasi telah jauh memasuki masyarakat kita, sebagaimana yang harus dilakukan oleh Negara-negara bekas jajahan lainnya. Adalah fakta global bahwa apa yang kita sebut dengan “konflik primordial”, yaitu konflik yang tidak disebabkan oleh faktor ideologi, tetapi oleh agama, daerah, atau suku atau budaya. Kedua adalah akumulasi kebencian dalam masyarakat yang disebabkan oleh provokasi. Ketiga yaitu konflik yang muncul terbungkus dalam genggaman budaya kekerasan. Keempat yaitu pengaruh orde baru, mengapa orde baru disebut sebagai faktor munculnya kekerasan? Karena pada masa orde baru lah sebuah sistem kekerasan yang dilembagakan.[5]
3.      Sebuah sejarah yang sulit
Sehubungan dengan konflik antaragama, demikian juga ketegangan etnis, yang ada di mana-mana di muka bumi ini, prasangka dan kecurigaan antara kelompok yang berbeda. Hal ini secara khusus terlihat berkaitan dengan kasus hubungan antar kelompok Islam dan Kristen. Seorang harus ingat bahwa kita dibebani oleh sejarah umum yang sulit yaitu bagian dari sejarah kolektif kita: sejarah perang salib dan penjajahan.
C.  Budaya lokal sebagai sarana resolusi konflik





BAB III
PENUTUP


[1] Novri Susan, Sosiologi konflik & isu-isu konflik kontemporer, (Jakarta: kencana, 2009) hal. 4
[2] Ibid. hal. 5
[3] Suhadi Cholili (ed), Resonansi Dialog Agama Dan Budaya Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multicultural, Sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: CRCS, 2008) hal. 161
[4] Sauidi Asy’ari (penerj), Konflik komunal di Indonesia saat ini, (Jakarta: INIS, 2003) hal. 120
[5] Ibid. hal. 120-123

0 komentar:

Posting Komentar